Tahun pelajaran 2018/2019 telah usai, banyak sekolah di Indonesia yang telah menerapkan kurikulum 2013 yang dari segi penilaiannya berbeda dengan kurikulum terdahulu yaitu KTSP. Pada kurikulum ini, penilaian terdiri dari penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pelaporannya juga berbeda, kalau di kurikulum KTSP, rapor ditulis tangan sedangkan dalam kurikulum 2013 menggunakan aplikasi yang disebut erapor. Memang erapor sedikit memaksa guru untuk melek IT, terutama bagi guru yang memasuki usia pensiun yang sudah bukan rahasia umum, sebagian malas berhubungan dengan komputer.
Erapor dikerjakan oleh guru mata pelajara dari tahap awal perencanaan penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan, kemudian setelah dibuat perencanaan akan muncul daftar nilai anak yang harus didownload versi excelnya. Dari daftar nilai tersebut, kemudian diinput nilai-nilai yang didapatkan siswa.
Sehingga diakhir semester, daftar nilai tersebut diimport ke eraport untuk diolah, dan dikirim oleh guru mata pelajaran ke wali kelas. Wali kelas memastikan semua guru mata pelajaran telah mengirim nilai ke kelas yang diampunya. Setelah data absensi dan catatan lainnya diinput wali kelas baru rapor dicetak dan dilaporkan kepada orang tua atau wali siswa.
Menariknya, pada aplikasi erapor ini tidak terdapat kolom untuk menginput rangking siswa di kelas. Yang artinya dalam K13 anak-anak dianggap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang tidak dapat dibanding-bandingkan satu sama lainnya. Mereka memiliki potensi yang berbeda-beda, sebagai contoh ada yang pandai dalam bidang matematika namun dalam seni budaya kurang atau sebaliknya.
Namun dalam aplikasi ini terdapat kolom untuk menginput prestasi siswa misalnya prestasi dalam kompetisi atau lomba-lomba yang pernah diikuti.
Apa yang terjadi setelah siswa menerima rapor dan sampai di rumah untuk mrnyerahkan rapornya kepada orang tua? Pengalaman saya sendiri, banyak WA atau telepon dari siswa dan bahkan orang tua yang bertanya, "rangking berapa anak saya bu?" Ditambah lagi nilai yang didapat berupa angka dan predikat, misal 65 /C, ketika mereka melihat haruf C berjejer orang tua menjadi panik. Kenapa C semua? Apakah C ini dibawah standar, padahal nilai minimal dalam K13 adalah C, yang artinya anaknya sudah memenuhi kreteria ketuntasan minimal atau KKM.
Ternyata kebiasaan menanyakan rangking sulit diubah di negara kita ini, dimana anak-anak selalu dinilai dari angka-angka yang diraihnya, dan di sekolah mereka seolah-olah berkompetisi dengan temannya untuk menjadi yang terbaik. Padahal seperti yang saya tulis di atas, semua anak tidak sama, mereka memiliki potensi masing-masing yang jika diasah dengan baik akan bermanfaat untuk keberhasilan hidupnya kelak.
Sumber : kompasiana.com
0 Komentar